Selasa, 19 September 2017

DITJEN HUBLA DAN BKI TANDATANGANI KERJASAMA PENDELEGASIAN KEWENANGAN STATUTORIA


05/04/2017
Jakarta - Bertempat di Ruang Sriwijaya Gedung Karsa Lt. 4  Kantor Pusat Kementerian Perhubungan, pada tanggal 5 April 2017 telah dilaksanakan acara Penandatanganan Perjanjian Kerjasama (Cooperation Agreement) Antara Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan dengan PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau PT. BKI Tentang Penyerahan Kewenangan Untuk Melaksanakan Survei dan Sertifikasi Statutoria Kapal Berbendera Indonesia. 

Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, A. Tonny Budiono mewakili Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan Direktur Utama PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero), Rudiyanto, mewakili PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero).

Dalam sambutannya Dirjen Hubla menyebutkan bahwa tujuan dilakukannya Perjanjian Kerjasama ini adalah pendelegasian kewenangan full authorization untuk 14 Kapal berbendera Indonesia dari Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan kepada PT. BKI yang merupakan Badan Klasifikasi milik Indonesia dan Perusahaan BUMN yang bergerak di Bidang Jasa Pemastian, Jasa Survei dan Sertifikasi.

Penetapan 14 kapal tersebut dilakukan oleh Ditjen Hubla atas permohonan dari PT. BKI untuk kapal-kapal general cargo dengan berat di atas 500 GT yang melakukan pelayaran internasional.

Adapun PT. BKI melaksanakan pekerjaan terkait dengan persetujuan, survey dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia, dengan menjelaskan ruang lingkup, jangka waktu, ketentuan dan persyaratan-persyaratan sesuai standar Badan Klasifikasi, yang sebelumnya telah diberikan kewenangan secara partial authorization kepada PT. BKI.

“Kerjasama ini bersifat cukup strategis bagi dunia pelayaran di Indonesia, khususnya dalam rangka meningkatkan jaminan keselamatan pelayaran nasional, sebagai bagian dukungan terhadap Program Nawacita Nasional Perwujudan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia,” tegas Dirjen Tonny Budiono.

Lebih jauh Dirjen Hubla mengatakan bahwa berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Recognized Organisation Code (RO-Code), yang diadopsi oleh Marine Environment Protection Committee (MEPC) tanggal 17 Mei 2013 beserta amandemennya serta Maritime Safety Committee (MSC) tanggal 21 Juni 2013 yang diberlakukan sejak 1 Januari 2015 serta ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut nomor UM.008/72/7/DJPL-15 tentang Pemberlakuan Kode Internasional untuk Organisasi Yang Diakui (Code For Recognized Organization/RO Code), maka setiap Pemerintah Negara Bendera dalam mendelegasikan kewenangan untuk pelaksanaan survey dan sertifikasi statutoria serta layanan jasa lain yang berkaitan dengan instrument IMO kepada Organisasi yang Diakui/Badan Klasifikasi, maka wajib menggunakan RO-Code sebagai rujukan utama.  Berdasarkan RO-Code tersebut, maka setiap Badan Klasifikasi diharuskan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam  RO-Code ini untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Negara Bendera.

Terkait dengan hal ini, maka Pemerintah Indonesia telah menetapkan PT. BKI Sebagai Recognized Organization (RO) Untuk Melaksanakan Survey Dan Sertifikasi Statutoria Atas Nama Pemerintah Pada Kapal Berbendera Indonesia. Penunjukan ini telah ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor. UM.008/57/4/DJPL-15 tentang Penunjukkan Assesor Pelaksanaan Assessment Badan Klasifikasi dalam rangka pendelegasian kewenangan dan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor  PK.204/1/3/DJPL-16 tentang Penunjukan PT. Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) atau PT BKI Sebagai Recognized Organization (RO) Untuk Melaksanakan Survey Dan Sertifikasi Statutoria Atas Nama Pemerintah Pada Kapal Berbendera Indonesia.

Menurut Dirjen Hubla, penunjukkan PT. BKI Sebagai Recognized Organization (RO) telah melalui beberapa tahapan,  diantaranya adalah,  adanya proses assesment terhadap management PT. BKI (Persero) oleh Tim Assesor dari Direktorat Perkapalan dan Kepelautan (Ditkapel) Ditjen Perhubungan Laut pada tanggal 8 s.d. 12 Oktober 2015 yang meliputi assessment di Kantor Pusat, Kantor Cabang Singapura mewakili Cabang di Luar Negeri, Kantor Cabang Batam mewakili Indonesia Bagian Barat, Kantor Cabang Samarinda mewakili Indonesia Bagian Tengah dan Kantor Cabang Sorong mewakili Indonesia Bagian Timur. Assessment tersebut dilakukan oleh 33 orang assessor untuk mengakses semua modul yang dipersyaratkan dalam Ro-Code dan sebelumnya PT. BKI telah diberikan kepercayaan wewenang secara partial authorization untuk melakukan pekerjaan terkait statutoria Kapal berbendera Indonesia. 

Selaras dengan yang disampaikan oleh Dirjen Hubla, Dirut PT BKI, Rudiyanto, menjelaskan bahwa BKI sebagai Badan Klasifikasi Nasional yang merupakan salah satu komponen bangsa yang bergerak di sektor maritim, siap mendukung pemerintah menjalankan kewenangan dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan tupoksi yang diberikan. "BKI sebagai Badan Klasifikasi Nasional, merupakan salah satu komponen bangsa yg bergerak di sektor Maritim, siap menjalankan wewenang dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Code Internasional yang diatur pada tupoksi yg diberikan oleh pemerintah. BKI selalu mendukung Kementerian Perhubungan, Cq Ditjen Hubla untuk selalu bersinergi memberikan kontribusi positif agar Nawacita Nasional, Indonesia sebagai poros maritim dunia kian menguat dan terwujud melalui sinergi yang terjadi di berbagai bidang sektor kemaritiman, termasuk kepercayaan atas pemberian kewenangan statutoria ini," Jelas Rudiyanto.

Adapun Ruang lingkup dalam perjanjian ini adalah Pendelegasian kewenangan untuk melaksanakan persetujuan, survey dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia, Pungutan Tarif terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pelaksanaan Kewenangan yang telah didelegasikan. Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak ditandatanganinya perjanjian ini, dan dapat diperpanjang dengan mempertimbangkan terlebih dahulu hasil dari pengawasan/oversight program oleh Tim Assessor Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Sumber Berita: Humas Hubla

Kamis, 28 Januari 2010

KEPRIHATINAN TERHADAP LEMAHNYA SISTEM KESELAMATAN DI LAUT

KEPRIHATINAN TERHADAP LEMAHNYA SISTEM KESELAMATAN DI LAUT

Seringnya peristiwa kecelakaan kapal laut hampir di setiap penghujung tahun semakin menambah dalam keprihatinan kami terhadap dunia transportasi laut di perairan Indonesia.

Sangat disayangkan respon khalayak terhadap setiap kejadian kecelakaan kapal di laut tidak sebaik jika dibandingkan dengan peristiwa kecelakaan yang menimpa alat transportasi lainnya. Padahal kapal laut adalah alat transportasi dengan kapasitas penumpang terbanyak. Lemahnya sistem keselamatan di laut menjadi penyebab potensial besarnya korban kecelakaan di laut.

Keinginan masyarakat transportasi terhadap angkutan yang terjangkau, nyaman dan aman ternyata masih jauh dari harapan. Tingginya persaingan ongkos transportasi laut, darat, dan udara adalah kendala potensial untuk timbulnya kecenderungan penekanan cost yang berefek pada kualitas keselamatan.

Kami mengecam keras strategis bisnis yang mengandalkan pada rendahnya biaya, dengan mengesampingkan kualitas keselamatan penumpang dan pengguna jasa kapal. Dari sekian banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, ternyata faktor paling dominan versi IMO (International Maritime Organization) adalah masalah kelalaian manusia, yaitu sebesar 80 %. Dari angka tersebut, 75 % - 79 % terjadi akibat buruknya sistem manajemen pengoperasian kapal lantaran lemahnya kepedulian pemilik kapal dan perusahaan dalam menerapkan sistem keselamatan di laut.
Fakta ini sesungguhnya mengisyaratkan bahwa belum semua perusahan pelayaran menyadari pentingnya penerapan ISPS (International Ship and Port Fasility Security) Code sebagai suatu kebutuhan, namun hanya untuk memenuhi persyaratan saja. Berdasarkan data yang kami peroleh dari laporan akhir tahun 2004 salah satu surat kabar di Indonesia, ditenggarai bahwa tiga dari empat (75 %) alat keselamatan tidak berfungsi, terutama pada pelayaran penumpang dan penyeberangan. Padahal perangkat keselamatan di laut seperti : rakit penolong (Inflatable Liferaft), Lifeboat, Lifejacket, Lifebouy, dan sebagainya adalah pertahanan jiwa terakhir jika terjadi kecelakaan kapal laut. Sebagai gambaran, setiap kapal laut harus memiliki Inflatable Liferaft yang jumlahnya, disyaratkan dapat memuat 2 X dari jumlah daya tampung penumpang kapal. Di dalam Inflatable Liferart harus tersedia alat pendukung untuk bertahan hidup, termasuk makanan, minuman dan obat. Untuk menjamin agar Inflatable Liferaft beserta isinya layak digunakan setiap saat, maka Inflatable Liferaft harus secara kontinyu di survey. Pertanyaan yang mucul kemudian adalah mengapa pada kasus-kasus kecelakan kapal laut, rakit penolong atau Inflatable Liferaft justru lebih banyak tidak terpakai.

Fakta bahwa mayoritas kapal yang beroperasi di perairan indonesia adalah termasuk kategori kapal tua atau berusia di atas 20 tahun. Namun bukan berarti kapal tua adalah kapal yang tidak laik laut. Karena laik laut suatu kapal tidak hanya didasarkan pada usia kapal saja tetapi banyak kriteria teknis, termasuk kelayakan alat keselamatan. Namun demikian tidak bisa dipungkiri bahwa usia kapal sangat mempengaruhi kualitas kapal.

Data yang ada menunjukkan bahwa rata-rata kondisi teknis kapal hanya mencapai 66,5%, hal ini berada jauh dibawah standard kelayakan minimal layak operasi yaitu 80%. Dengan demikian hanya 10%-30% kapal yang berada pada kondisi siap operasi.

Data yang kami peroleh dari sumber Dephub-JICA tahun 2002, menyebutkan bahwa sejak tahun 1982 sampai tahun 2000 terjadi 3.826 kejadian kecelakaan kapal atau rata-rata terjadi sebanyak 204 kecelakaan kapal setiap tahun, atau terjadi kecelakaan setiap 2 hari sekali. Sedangkan Data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menyebutkan, selama tahun 1990-1999, jumlah kecelakaan kapal sebanyak 1.551 kasus dengan korban jiwa 2.684 orang dan kerugian barang 140.622,26 ton. Sedangkan untuk periode tahun sesudahnya tidak diketahui

Data di atas sesungguhnya menjadi bukti konkrit dari lemahnya sistem keselamatan kapal, baik dari aspek regulasi dan aplikasi, manajemen, fasilitas keselamatan, dan sumber daya manusia.

Kami menyadari bahwa permasalahan kecelakaan kapal laut adalah permasalahan kompleks yang pada ujungnya akan kembali pada kebijakan dan keseriusan pemerintah dalam menindaklanjuti kelamnya permasalahan transportasi laut di perairan Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini maka rekomendasi yang di ajukan adalah :
1.Meminta agar pemerintah Republik Indonesia konsisten menerapkan regulasi
keselamatan di laut dengan memperhatikan status laik laut menjadi tidak sekedar
formalitas administratif.
2.Meminta agar pemerintah Republik Indonesia menerbitkan data resmi kecelakaan
kapal laut secara transparan, terunifikasi dan lengkap agar semua pihak dapat
mensikapi permasalahan ini dengan serius.
3.Meminta agar pemerintah Republik Indonesia melalui Komite Nasional Keselamatan
Transportasi memasukkan elemen Pengecekan kondisi alat keselamatan kapal sebagai
bagian dari laporan terjadinya kecelakaan laut.
4.Meminta agar pemerintah Republik Indonesia melalui lembaga otoritas terkait untuk
lebih sering melakukan audit atau inspeksi kelayakan alat keselamatan kapal dengan
melibatkan perusahaan profesional yang telah memiliki authorized manufacture dan
approved class.
5.Meminta agar nahkoda tidak dibatasi kewenangannya sepanjang menyangkut keselamatan
dan keamanan kapal.
6.Meminta agar pemerintah Republik Indonesia membuat program Sosialisasi ISPS CODE,
training penggunaan dan pemeliharaan alat keselamatan di laut, audit kelayakan,
dan investigasi perangkat keselamatan jiwa pada kasus kecelakaan kapal dengan
menggandeng perusahaan profesional yang telah memiliki authorized manufacture dan
approved class di bidang alat keselamatan di laut.


YOU MUST SAFE BECAUSE YOU ARE MY BROTHER

Rabu, 20 Januari 2010

INFLATABLE LIFERAFT



KONDISI SERVICE STATION
INFLATABLE LIFERAFT (ILR) DI INDONESIA
LATAR BELAKANG



keselamatan adalah indikator utama untuk mengukur keberhasilan transportasi. Berdasarkan data yang dilansir KNKT, diketahui bahwa dalam 1 bulan, di perairan Indonesia terjadi rata-rata 3 – 4 kali kecelakaan kapal laut.


DATA KECELAKAAN LAUT KNKT 2008
REKAP DATA
JUMLAH


Jumlah kecelakaan yang tercatat di data base 2008
44
Satus Investigasi

Diinvestigasi penuh KNKT
4
Diinvestigasi Ditjen Perhubungan Laut
40


Jumlah kapal yang terlibat berdasarkan jenis kapal

Kapal Cargo
9
Kapal Cargo Penumpang

Kapal Container
1
Kapal Curah
-
Kapal Ikan
4
Kapal Layar Motor
4
Kapal Motor Kayu
15
Kapal Negara

Kapal Penumpang
-
Kapal Perang

Kapal Ro Ro Penumpang
3
Kapal Tanker
6
Kapal Supply
-
LCT
1
Speed Boat
1
Tongkang
1
Tug Boat

Yacht -

Jumlah
45


Jumlah kapal yang terlibat berdasarkan Bendera kapal

Indonesia
43
Asing
2
Jenis kecelakaan

Bocor
1
Hanyut
1
Kandas
7
Kerusakan Konstruksi -
7
Kerusakan Mesin
6
Meledak -

Menabrak Dermaga -

Menabrak Tiang Jembatan -

Miring -

Orang Jatuh ke Laut
1
Tenggelam
18
Terbakar
9
Terbalik -

Tubrukan
1
Jumlah
44
Kategori Kecelakaan

Very Serious Casualty
22
Serious Casualty
17
less serious casualty
5
Kerugian

Korban Jiwa

Cedera Fatal/Meninggal/Hilang
32
Cedera Serius
1
Cedera Berat
12
Cedera Ringan/Selamat
68

Pertanyaan yang mucul tentunya adalah mengapa pada pemberitaan di media massa, setiap kali terjadi kecelakan kapal laut, rakit penolong atau Inflatable Liferaft justru lebih banyak tidak terpakai. Padahal rakit penolong adalah salah satu alat pertahanan jiwa terakhir manakala terjadinya kecelakaan di laut. Tentunya harus dilakukan analisa terhadap segala hal yang terkait terhadap permasalahan ini.





  1. KEBIJAKAN MAKER to MAKERIstilah kebijakan maker to maker dalam service dan perawatan liferaft adalah; Setiap teknisi dalam perusahaan service liferaft hanya boleh melakukan service dan perawatan suatu merk inflatable liferaft berdasarkan sertifikat training yang dimiliki dan yang dikeluarkan oleh manufacture terkait.
    Ketentuan tersebut berpedoman pada regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993, sebagai berikut:
    “Pekerjaan service dan perbaikan yang seharusnya hanya dilaksanakan oleh orang-orang yang terlatih dan mempunyai sertifikat yang akan diterbitkan oleh perusahaan pembuat liferaft yang bersangkutan. Prosedur pelatihan harus meyakinkan bahwa personel yang mengikuti pelatihan diharapkan dapat menguasai setiap perubahan dan teknik-teknik perbaikan yang terbaru.”
    Kemudian ditegaskan lagi berdasarkan surat Kepala BTKP kepada para ADPEL dan KAKANPEL, nomor : KWT.01/03/BTKP.07 tanggal 21 Maret 2007:
    “…Terhitung tanggal 21 Maret 2007 teknisi ILR service station hanya boleh melakukan perawatan ILR sesuai dengan sertifikat yang dikeluarkan pihak manufacture.”
    Diterbitkannya regulasi tersebut tentunya mengacu pada berbagai studi kasus dilapangan sebagai antisipasi dan corrective action atas gagal berfungsinya alat pertahanan jiwa tersebut secara maksimal. Selain itu dapat di cermati juga bahwa :

  1. 1. Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memilki karakteristik bahan produk liferaft yang berbeda.
  2. Setiap manufacture mensyaratkan special tools yg berbeda bagi produknya. Penggunaan tools yg berbeda potensial akan mengakibatkan kerusakan produk.
  3. Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memiliki prosedur perawatan dan perbailkan yang berbeda.
  4. Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft mensyaratkan jenis spareparts dan elemen emergency pack yang berbeda.
  5. Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft mensyaratkan masa penggantian spareparts dan elemen emergency pack yang berbeda.
  6. Setiap manufacture produsen merk Inflatable Liferaft memiliki system control dan revisi tindakan service terhadap produk-produk mereka.

Pentingnya hal diatas juga ditegaskan dalam regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993, sebagai berikut :

Hal-hal yang harus diberikan oleh perusahaan pembuat liferaft dalam kaitannya dengan penyelenggara service liferaft :

Perubahan-perubahan dari cara-cara service secara manual, bulletin service, instruksi-instruksi. Bahan baku dan suku cadang perbaikan yang memadai, Buletin dan instruksi-instruksi dari administration, Pelatihan untuk teknisi-teknisi
Dari pemaparan  di atas maka dapat dipahami mengapa kebijakan maker to maker adalah hal yang sangat serius bagi pemenuhan unsur safety di kapal laut.
Oleh karena itu, wajar jika pada pemberitaan kasus kecelakaan kapal laut, banyak inflatable liferaft (ILR) yang tidak berfungsi/mengembang dengan baik lantaran dipengaruhi berbagai faktor, diantaranya:
1.Di service oleh teknisi yang memiliki sertifikasi keahlian berbeda, terlebih banyak kasus dimana inflatable liferaft justru diservice oleh teknisi yang sama sekali tidak memiliki sertifikat keahlian dari manufacture.
2. Kemudahan mendapatkan ijin kewenangan sebagai service station untuk Inflatable liferaft.
Banyak service station yang beroperasi belum memiliki workshop yang memadai, baik sarana maupun pra sarana untuk melakukan service atau bahkan belum mempunyai workshop.
3. Tidak terpenuhinya dasar regulasi perihal ketentuan standar kelayakan workshop (pemenuhan syarat sarana dan pra sarana) secara detail dan transparan. Sesungguhnya perihal ini dapat mengacu pada ketentuan IMO A 761 (18).
4. Banyak teknisi yang bekerja pada service station ILR tidak mendapatkan training dari manufactur ILR sebagaimana yang diisyaratkan dalam ketentuan IMO A 761 (18)
5. Ketidaktersediaan Spare part dan tools sesuai dengan ketentuan manufacture dikarenakan bukan sebagai authorize service station dari suatu manufacture. Dampaknya adalah penggunaan spareparts palsu atau penggunaan spareparts yang tidak sesuai dengan jenis dan karakteristik liferaft.
Dalam pemenuhan syarat administratif seringkali ditemukan kasus-kasus dimana suatu perusahaan mengajukan ijin kewenangan baru atau mengajukan perpanjangan ijin kewenangan sebagai service station inflatable liferaft dengan cara yang tidak benar, yaitu :
1. Penggunaan Sertifikat training dari perusahaan service station lain. Sebagai contoh : Perusahaan A mengajukan permohonan ijin kewenangan baru atau perpanjangan ijin kewenangan. Padahal sertifikat tersebut dikeluarkan oleh manufacture untuk teknisi yang terdaftar di perusahaan B. Ini akan menjadi masalah saat terjadi komplain dari owner ship ataupun pada saat adanya penyidikan suatu peristiwa kecelakaan kapal laut karena yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah perusahaan B.
2. Penggunaan foto copy sertifikat training tanpa dilakukannya pengecekan dari sertifikat asli atau pengecekan kepada pihak manufacture yang mengeluarkan sertifikat.
3. Penggunaan sertifikat training yang sudah habis masa berlakunya (kadaluarsa). Hal ini berpengaruh untuk menjamin updt prosedur kerja masing-masing merk ILR. Manufactrure hanya akan memberikan/mengirimkan perubahan-perubahan prosedure atau koreksi product knowledge hanya kepada teknisi/surveyor yang sertifikatnya masih berlaku.
4. Penggunaan sertifikat training yang diterbitkan atau diadakan oleh penyelenggara training yang tidak diakui oleh manufacture. Terkait dengan hal ini terjadi beberapa kasus, dimana diadakannya suatu training tanpa ijin atau tanpa melibatkan pihak manufacture. Lebih jauh lagi, suatu kejadian dimana training perawatan inflatable liferaft diadakan di Hotel dan waktu pelaksanaanya kurang dari 6 hari untuk lebih dari 6 merk liferaft. Padahal biasanya training di adakan di lokasi yang memadai peralatannya dan durasi waktu training untuk 1 merk liferat paling singkat adalah 2 hari. Maka dapat di bayangkan bagaimana kualitas hasil training tersebut. Padahal ideal nya tujuan dilakukannya training adalah untuk pekerjaan yang menyangkut keselamatan jiwa manusia.

Adanya penerapan regulasi yang menimbulkan multi penafsiran. 

Keadaan ini sudah pasti akan menimbulkan kekaburan pemenuhan standar keselamatan dan kepastian hukum bagi syarat kelayakan dalam pemenuhan unsur laik lautnya suatu kapal sebagaimana disyaratkan dalam Bab IX tentang Kelaiklautan Kapal, UU nomor 17 tahun 2008. Padahal, apabila syarat-syarat sebagaimana di atur dalam UU nomor 17 tahun 2008 tidak dipenuhi maka dapat mengakibatkan dijatuhinya sanksi Pidana, Denda, maupun pencabutan ijin operasional.

Sehubungan  dengan penggantian spareparts, dalam regulasi IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993.
dalam kaitannya  dengan pyrotechnic sebagai bagian dari spareparts liferaft yang disyaratkan adanya penggantian secara periodic, masalahnya adalah :
Regulasi IMO tersebut di atas menerapkan masa berlaku tidak kurang dari 6 bulan terhadap masa expire date spareparts pada saat masa service tahun berikutnya.
Pihak Class menerapkan ketentuan masa batas berlakunya spareparts berdasarkan flagt dari masing-masing Negara dimana kapal tersebut terdaftar.
Pihak syahbandar ada yang menerapkan batas masa berlaku spareparts 6 bulan dan 12 bulan dari masa expire date.

Sedangkan Pihak manufacture ada yang menerapkan dispensasi masa berlaku 6 bulan dari masa expire date pyro, dan ada yang menerapkan masa 12 bulan harus dilakukan penggantian.

Terhadap hal di atas maka acuan yang digunakan tentunya adalah regulasi yang paling updt sebagaimana termuat dalam  RESOLUTION MSC.388(94) (adopted on 18 November 2014), yaitu bahwa isian di dalam ILR harus masih berlaku sebelum jatuhnya masa berlaku sertifikat.


Beredarnya Pyrotechnic Palsu atau Afkir


Pyrotechnic sebagai spareparts yang harus ada pada setiap sekoci penyelamat, rata-rata memiliki masa usia pakai 3 tahun. Namun di lapangan, usia pakai tersebut terkurangi oleh lamanya proses distribusi dan pengiriman, baik dari manufacture ke agen, distributor, distributor ke agen, agen ke service station, dan dari service station ke pihak owner ships. Sebagai gambaran bahwa pyrotechnic adalah jenis dangerous good yang pengangkutannya tidak boleh menggunakan kapal udara, sehingga membutuhkan waktu pengiriman yang lebih lama mulai dari manufacture hingga dapat di pakai oleh pihak owner ships. Seluruh tahapan proses itu membutuhkan waktu yang tentunya akan mengurangi masa pakai pyrotechnic.

Pyrotechnic digunakan untuk memberikan tanda meminta pertolongan pada saat terjadi musibah di tengah laut. Komposisi kimia di dalam pyrotechnic sesungguhnya rentan terhadap udara. Namun untuk menjamin agar tetap berfungsi maka regulasi SOLAS-IMO dan Manufacture liferaft mensyaratkan agar setiap tahun dilakukan penggantian. Dan itupun masih diberikan dispensasi bahwa pyro masih boleh dipakai asalkan kurang dari 6 bulan dari masa expire datenya (IMO Resolution A.761 (18) tahun 1993).

Masalahnya adalah, hingga saat ini tidak ada regulasi yang mengatur perihal penanganan terhadap pyrotechnic yang sudah afkir, sehingga menyebabkan ramainya peredaran pyro palsu atau pyro yang dirubah masa expired date nya.

Padahal dalam Solas 1974 sudah ditegaskan bahwa :
“The main objective of the SOLAS Convention is to specify minimum standards for the construction, equipment and operation ships, compatible with their safety. Flag States are responsible for ensuring that ships under their flag comply with its requirements, and a number of certificates are prescribed in the Convention as proof that this has been done”.

Maraknya peredaran pyrotechnic palsu biasanya dengan cara sebagai berikut :


  • Service station melakukan service sekoci karet dan penggantian pyrotechnic.
    Pyrotechnic yang diganti (afkir) dikembalikan kepada costumer (pihak owner ships).
    Oknum dari pihak ownership menjual pyrotechnic tersebut ke pasar gelap (penadah barang pyro afkir).

  • Penadah mengganti stiker atau label atau tanggal masa expire date.

  • Pyrotechnic yang sudah diubah kemudian dijual kepada oknum service station dengan harga lebih murah dari aslinya.

  • Kemudian alurnya kembali ke nomer 1 di awal.

Sehingga tidak heran jika pyrotechnic “aspal” tersebut dapat dipakai berulang-ulang kali. Tentunya yang diuntungkan adalah pihak oknum service station dan oknum owner ships.

Mereka sama-sama mengambil keuntungan dari penjualan barang bekas dan murahnya biaya penggantian, dengan menafikkan kselamatan jiwa orang lain. Dapat dibayangkan bagaimana kondisi korban musibah di laut pada saat membutuhkan Pyrotechnics untuk memberi tanda minta pertolongan sedangkan alat yang ada ternyata tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kondisi seperti ini sangat potensial mengakibatkan orientasi pemenuhan unsur keselamatan kapal berbalik menjadi sekedar pemenuhan persyaratan administratif semata agar kapal laut tetap bisa berlayar. Oleh karena itu, dibutuhkan pengaturan dan pengawasan tegas dari pemerintah.

Rekomendasi yang di ajukan terhadap permasalahan ini adalah:


  1. Service station membuat berita acara mengenai jumlah penggantian pyrotechnic yang sudah afkir.

  2. Pyrotechnic afkir tidak boleh di kembalikan kepada costumer.

  3. Dilakukan pemusnahan atau perusakan agar tidak dapat dipalsu atau dijual kembali.
    Perusakan dapat dilakukan dengan cara dipotong menggunakan gergaji mesin/listrik dengan di rendam air sebelumnya.

  4. Service station melaporkan kepada petugas kesyahbandaran yang ditunjuk perihal pemusnahan/perusakan pyrotechnic afkir dan menunjukkan bukti fisik dan berita acara pemusnahan.

  5. Service station menempatkan pyro yang sudah di rusak di tempat pembuangan limbah khusus atau tempat pemusnahan limbah pyrotechnic.

Dengan metode seperti itu diharapkan dapat mengurangi secara signifikan peredaran pyrotechnic “aspal”. Diharapkan juga nantinya tidak hanya barang pyrotechnic yang harus dimusnahkan, tetapi juga spareparts lainnya termasuk emergency pack yang ada di setiap sekoci penolong. Karena tentunya juga akan sangat berbahaya jika air atau minuman darurat yang ada di dalam sekoci penolong ternyata digunakan berulang-ulang kali.

Terkait dengan hal di atas, perlu di pertimbangkan bahwa :


  1. Pemerintah dapat segera menerbitkan ketentuan pemusnahan/perusakan pyrotechnic.Dalam ketentuan tersebut harus di atur juga siapa yang bertugas sebagai pengawas dilapangan dan secara administratif yang mewakili pemerintah.
    Alat seperti apa yang digunakan untuk pemusnahan dan apakah untuk pembuangan/pemusnahan/penyimpanan limbah pyrotechnic harus menggunakan suatu alat atau media khusus.

  2. Siapakah yang memfasilitasi alat pembuangan limbah tersebut, apakah pemerintah ataukah service station yang dianggap berkompeten untuk melakukan pengadaan alat atau media pemusnahan limbah pyrotechnic.

  3. Bagaimana pembiayaan pemusnahan dan pembuangan limbah pyrotechnic, apakah dibebankan langsung kepada owner ship selaku konsumen jasa service(?).